Oct 5, 2016

Diriku Saat Ini, Nampaknya Akan Sangat Berjuang Dengan Kesendirian

Lama sekali aku tak pernah menyapa kalangan blogger. Aku hanya terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, sehingga tidak ada lagi hasrat untuk menulis. Tapi, kali ini aku akan meluangkan sedikit waktuku untuk mengisi semua keterbengkalaian ini.

Sebelumnya, aku sudah menulis tentang diriku sendiri dimana aku yang hanyalah seorang gadis penuh dengan liku-liku percintaan yang tak layak untuk ditulis. Namun, apalah daya aku tak punya sesuatu yang menarik untuk ditulis melainkan hal rumit tersebut.

Berbeda, kali ini aku akan menulis tentang diriku saat ini, saat dimana aku tidak lagi hidup dengan cinta. Pada tanggal 5 Oktober 2016, dimana aku tidak lagi memiliki sebuah hasrat untuk mengulang kembali pahitnya kisah kasih yang tidak terjadi disekolah, tapi dimanapun kasih berada. Mari kita mulai.

Keterpurukan, pasti akan dirasakan oleh setiap makhluk yang bernafas. Manusia terpuruk, jatuh, begitu pula dengan hewan yang kelaparan, kedinginan dan juga tumbuhan yang kekeringan memohon kepada sang hujan agar segera membasahinya. Pun, manusia yang akan lebih banyak merasakan keterpurukan tersebut karena manusia punya suatu rasa yang bisa membuatnya semakin menjadi-jadi. Semakin kau menjadi seorang yang perasa, akan semakin terpuruk pula hal pahit yang kau alami. Eh, tapi itu hanya menurutku, kenapa? Karena hal itu sudah sangat terbukti sekali pada pahitnya pengalamanku tentang rasa.

Kalau bicara soal rasa, sepertinya tidak akan ada habisnya, seperti dunia ini yang lingkaran dan tidak berujung. Begitu pula dengan rasa, rasa juga tidak akan pernah berhenti mengetok pintu hati setiap manusia yang lemah. Aku bilang kalau rasa itu bisa membuat kamu semakin lemah, tapi rasa yang akan membuatmu menjadi seorang yang rapuh. Terkadang, rasa juga yang akan membuatmu kuat namun itu hanya sesaat.

Aku sudah penat dengan rasa yang meracuni setiap pikirku, membumbuinya dengan ketidak berdayaanku, menyajikannya dengan hal pahit, bahkan membunuhku secara perlahan tetapi enggan pula untuk memastikan. Rasa, kamu sangat berperan sekali dikehidupanku, sampai aku tahu semua arti kehidupan, mulai dari aspek terkecil sampai terbesar. Rasa, kau yang mengajarkanku tentang kegagalan, jatuh bangunnya kehidupan sampai kehilangan orang yang sudah aku rasa benar. Rasa, entah aku sudah kehabisan akal kalau bicara tentangmu.

Dulunya, aku perasa sekali. Ya, perasa sampai orang berkata aku hanya mengandalkan rasa. Seperti, rasa belas kasihan kepada orang terlalu tinggi, rasa tidak enakan, rasa ketidak adilan alias iri hati, rasa ketidak benaran alias fitnah, rasa ketidak pantasan dan semua rasa tersebut dulunya itu memang sudah bersahabat denganku.

Namun, saat ini aku sudah berubah. Aku sudah bukan aku yang dulu, yang dengan mudah sang rasa menghampiriku sampai pada akhirnya melemahkanku. Rasa, sekarang kamu tidak akan pernah lagi menyentuh sanubariku. Aku sudah menempanya dengan lapisan yang tidak akan engkau tembus, kecuali rasa pada orang-orang yang sudah melekat denganku selama berpuluh tahun lamanya. Rasa, aku tidak bermaksut untuk berkhianat denganmu, tapi aku harus melawan semua ketidak berdayaan ini.

Lantas apa hubungannya aku dengan rasa saat ini? Karena rasa telah memberiku segunung bahkan selangit kenangan pahit bersamanya, aku tidak akan mudah menjadi seorang perasa, lagi. Selongsong hatiku sudah aku putihkan, segenap jiwaku sudah aku tempa dan dinding hatiku sudah aku lapisi dengan tembok emas, jikalau emas itu bersinar maka silaunya akan menyulapkan mata. Ya, itulah aku sekarang. Aku yang tidak perasa akan menjalani sisa hidupku dengan kesendirian. Kesendirian yang membuatku merasa kuat, tak memiliki rasa berlebih, pun juga tak akan menyakiti diriku sendiri karena aku hanya sendiri.

Sendiri, berteman sepi, bersahabat sunyi, berselimut pagi dan terlupakan oleh senja yang menyaji. Aku, hanyalah manusia yang tak bernyali untuk merasakan sebuah rasa yang patut diuji. Aku, bergumam sendiri, berpeluk api, bersandarkan wangi sang melati dan bersiap untuk menelusuri kemana arah angin akan membawaku ke tempat yang selayaknya aku ditakridkan.

Entah sampai kapan aku akan berjuang dengan semua yang tak perasa ini. Entah sampai kapan pula akau akan menjadi orang yang penuh dengan kesendirian. Jangan biarkan aku bermain dengan egoku. Jangan biarkan aku bersenam dengan syahduku. Jangan biarkan aku berdendang dengan petikan gitarku.

Hanya putusan dari sang waktulah yang akan menjawab. Diriku saat ini, yang nampaknya akan sangat berjuang dengan kesendirian karena tidak akan ada lagi rasa yang berlebihan didalam sosokku.

No comments: