Oct 6, 2016

Kamu, Yang Selalu Mengajarkanku Kehidupan, Tapi Kamu Lupa Bagaimana Caranya Aku Menjalani Kehidupan Kalau Tanpamu

Tak terasa sudah kembali ke musim penghujan. Musim dimana aku dan kamu saat itu sedang diselimuti kebahagiaan. Bahkan tetesan air hujan pun tak pernah kita merasakan kedinginan karena kita saling berpegang erat satu sama lain. Hujan yang membawa semua kenangan pahit yang harusnya sudah sirna namun tergenang kembali dipikiranku.

Aku tak tahu arah dan tujuan saat itu, hanya kau yang selalu setia mengarahkanku pada sebuah visi yang sangat kita idamkan. Namun, Tuhan ternyata tidak berkehendak. Tuhan tak mengijinkan kita berpegangan erat selamanya. Beliau mengirimkan sebuah cobaan berat buatku karena ulahmu. Aku lebur menjadi butiran abu, mudah tersapu oleh hembusan angin rayuanmu. Jangan kalian pikir musibah tersebut tentang hal-hal yang tidak senonoh ya, namun musibah ini sangat membuatku merasa bernanah. Hanya beberapa sahabatku lah yang tahu tentang sekilas cerita yang sangat memuakkan ini.
Memuakkan? Lantas mengapa aku masih saja menginginkan hal ini untuk diceritakan? Karena akan menjadi sebuah pelajaran, pelampiasan, pengertian, penobatan dan pemberian maaf terakhir buat kamu. Memang semua salahku, karena terlalu mengikutimu, menggantungkan segalanya yang aku punya kepadamu, mematikan hidupku sendiri hanya untukmu, membutakan seluruh arah, meredupkan cahaya kesempatan yang datang untukku. Namun, aku menutupnya rapat-rapat dan membuangnya jauh-jauh seakan aku tidak membutuhkan orang lain, selain kamu.

Selama 8 tahun juga aku terlalu kau manjakan, kau enakkan, kau sanjungkan, kau tinggikan, kau acungi jempol, kau positifkan, kau anugerahkan, kau abadikan. Namun, selama 8 tahun pula, kau remehkan, kau penatkan, kau ramaikan, kau khianati, kau sakiti, kau lampaui, kau bohongi, kau caci, kau maki, kau buang, kau abaikan. Pun, aku tetap selalu setia disampingmu meskipun seribu kali aku mencoba untuk menghilangkanmu dari hiduku, Namun, aku tak bisa.
Aku terlalu terhanyut akan tutur katamu yang menyejukkan hati, santunmu yang membuatku terngiang, ramahmu kepada orang lain yang membuatku selalu merasa damai. KAMU! Kenapa kamu begitu sempurna dimataku yang fana ini? KAMU! Kenapa begitu tega berperilaku sedemikian rupa sehingga kau tega menjadikanku sebagai putrimu.

Kamu ajarkanku bagaimana cara mengatasi segala sesuatu. Kamu tuntun aku bagaimana cara menjalani hidup yang benar, tanpa rasa iri hati, dengki, pemaaf, tak congkak dan juga selalu menjadikan air bagi insan yang sedang rindu akan kesegarannya.
Tapi, yang aku sangat kecewa padamu, kamu tak pernah mengajarkanku bagaimana cara hidup tanpamu. Kamu tak pernah mengajarkanku bagaimana cara hidup mandiri tanpamu. Kamu tidak pernah menyentuhkku dengan kata "mandiri" dan "terbiasa" tanpamu. Bahkan, kamu tidak pernah membahas sedikitpun tentang apa artinya kehidupan kalau itu tanpamu!

Aku tak bisa menahan hasrat untuk mengenang segala kelembutanmu, ketololanmu dan juga kesempurnaanmu. Kamu dulu segalanya, bahkan melebihi keluargaku. Kamu dulu bagaikan Raja yang tak pernah aku sedikitpun akan tega menjauh darimu. Kamu dulu laksana jantungku, aku akan mati jikalau itu tanpamu.

Apa ini yang disebut cinta? IYA! Namun, apa ini juga yang disebut dengan sayang? BENAR! Dan, apa ini juga yang dinamakan CINTA SEJATI? TEPAT SEKALI!

Kau tahu, aku tertarik padamu karena matamu yang menyilaukan sanubariku pada masa putih abu-abu. Kamu yang selalu aku nanti disetiap aku melewati lorong sekolah di depan kelasmu. Kamu, yang selalu aku tunggu du halaman sekolah. Kamu, yang selalu aku intai setiap sehabis upacara pagi. Dan, tak ada bosannya aku masih saja menaruh harapan ke kamu yaitu, cinta pada pandangan pertamaku. Terenyuh rasanya ketika aku masih belum tahu yang namanya kerasnya kehidupan, lantas kau datang dengan menghubungiku melalui ponsel buntutku.

Kamu, dengan sejuta paras indahmu datang dan berbincang. Untuk pertama kalinya, hal itu masih teringat jelas bahkan masih nyata dipikiranku. Kamu yang dulu berambut gondrong, kini menjadi 2cm. Kamu, dengan santunnya kau menceritakan pahitnya kehidupan. Dari situlah, aku tahu kalau kamu memang benar-benar orang yang tangguh, kuat dan juga sudah tertempa akan kejamnya dunia.

Namun, karena kebodohanku, aku terlena dengan lelaki lain. Sikap bodohku masih tetap saja tidak berhenti, bahkan sampai sekarang. Sikap terbodohku yaitu MUDAH BOSAN dengan segala sesuatu yang ada. Entah kenapa hal ini sangat menghantuiku disetiap waktu. Bosan, aku tak mau menyalahkanmu namun memang ini adanya aku. Dengan alasan bosan, aku meninggalkanmu terpuruk. Lalu,aku bersamanya dan kau juga tak tahu arah dan tujuanmu kalau tanpaku.

Otak bodohku kembali berguman kalau aku telah merasa bosan dengan lelaki ini. Lantas, aku mencampakkan dia begitu saja dan aku kembali padamu. Kertas yang rapi, lalu terlipat dan tidak akan bisa kembali ke bentuk semulanya yang rapi dan menawan. Begitu juga denganmu, kamu yang tak mau memaafkanku sampai pada akhirnya aku masih bersih kukuh untuk mengejarmu bahkan sampai keujung dunia sekalipun.

Tuhan baik padaku saat itu, kamu mau memaafkan tingkahku yang masih bocah. Dan kita bersama kembali. Sampai dengan cerita yang sama, yaitu otak tololku berkata kalau aku sudah mulai bosan lagi denganmu dan ada seorang lelaki yang mendekatiku, dia begitu menawan dan baik hati. Tak ada bosannya, aku kembali meninggalkanmu. Akhirnya, ada suatu musibah yang sangat membuatku harus memutuskan hubungan dengan lelaki itu. Dan, lagi-lagi Tuhan masih baik dengan sikap bocahku ini. Aku kembali padamu dan kamu juga masih mau memberikan pelukan hangatmu padaku. Kisah tersebut tidak berhenti sampai disini, kisah ini berlanjut sampai yang terakhir kalinya, aku memutuskan untuk tidak akan meninggalkanmu lagi.
Aku sudah membuang semua otak tololku, sikap bocahku dan juga hal-hal yang membuatku berpikiran tentang "BOSAN". Aku tak mau berjelaga lagi dengan penat yang membelenggu. Terima kasih kau sudah mampu membunuh segala penat yang ada dan kita akhirnya saling mengisi, mengerti, memahami, mendalami dan menyeriusi.

Sepertinya, saat musibah itu, Tuhan sedang marah sekali padaku karena kelakuan nakalku terhadap orang tuaku. Aku tidak mengikuti kata orang tuaku yang mana untuk meninggalkamu. Lantas, aku masih tetap mempertahankanmu dengan segala kekuranganmu. Aku mau menutupinya, namun sampai kapan aku harus menutupinya. Apa sampai aku tak berkutik lagi? Sampai tubuh mulai membiru gemas akan tingkahmu yang semakin menjadi. Aku tak tahu harus bagaimana, Tuhan ternyata selalu bersama ridho orang tua.

Musibah itu...
Membuatku tercengang, terbelanga dan ternganga. Entah kenapa Tuhan mengujiku dengan musibah yang tak pernah ku duga sebelumnya. Aku yang dulunya sangat kuat bersamamu, kini menjadi sangat rapuh dan selalu berkecil diri. Aku yang dulunya mampu menutupi segala kekuranganmu, berubah menjadi seorang yang penuh acuh padamu. Apalagi, kau juga yang memperkeruh keadaan. Kau menambah bebanku, beban yang seharusnya aku sudah muak, lalu kau tambah lagi dengan beberapa pikulan lagi. Aku harus bagaimana?
2 November 2015,
Saat itu, aku memutuskan semua bebanku bersamamu. Segala rasaku harus segera aku akhiri sudah. Aku menyudahinya, aku menguburmu dengan sejuta beban yang kau tlah kau beri. Terima kasih atas pikulan beban selama ini. Biarkan aku memikul bebanku sendiri tanpamu, meski kau tak pernah mengajarkanku bagaimana caranya hidup penuh bebabn tanpamu.

Saat ini, aku tak tahu engkau berada dimana, sedang berbuat apa dan bersama siapa. Yang aku tahu saat ini, aku merindukanmu. Aku merindukan sosok lembut itu hadir disampingku. Aku tak kuasa menahan rinduku karena kau begitu memberikan kehidupan namun kau tak pernah memberitahuku tentang bagaimana caraku memaknai kehidupan kalau tanpamu.
Aku, yang engkau sia-siakan selama setahun ini. Entah sampai kapan aku masih tetap saja mengingat segalanya tentangmu, jelas bahkan tak samar. Aku tidak ada niatan sama sekali untuk melupakanmu. Biarkan hal indah itu menjadi kenangan terpahit dan terindah dalam hidupku. Tak kuasa sekali mataku menahan segala bendungan air mata ini. Padamu jua, aku akan menggoreskan luka yang menyakitkan tapi dapat meneteskan emas yang tak ternilai harganya.

Sekian kisah kerinduanku ini terhadapmu
Padamu salam rinduku, si gondrong IGBL.

No comments: